Jakarta - Front Pembela Internet (FPI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi.
gedung Mahkamah Konstitusi |
Juru bicara FPI, Suwandi Ahmad
mengatakan, dua UU ini inkonstitusional karena telah melanggar hak
berusaha dan hak mendapatkan informasi. Dalam industri telekomunikasi ada
berbagai macam PNPB, yaitu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi,
telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan konten.
“Industri telekomunikasi,
khususnya penyedia jasa internet, merasa terlalu terbebani oleh berbagai
biaya BHP,” kata Suwandi.
Selain itu, menurut
Suwandi, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi dinilai tidak fair,
karena dihitung 1% dari pendapatan kotor (revenue). Sedangkan pajak
pendapatan badan saja dihitung berdasarkan keuntungan (pendapatan dikurangi
pengeluaran).
Selain itu,
pendapatan-pendapatan dari usaha sampingan, yang sebenarnya dari usaha
non-telekomunikasi, juga dihitung sebagai revenue yang menjadi obyek
BHP.
“Masalah hukumnya adalah,
besaran dan tarif BHP itu ditentukan sesuka-sukanya oleh pemerintah, dalam
hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),” tegas
Suwandi.
FPI dan APJII menyoroti
pasal 2 dan pasal 3 UU 20/1997 tentang PNBP yang mengatakan bahwa jenis dan
tarif PNPB selain yang disebut dalam UU tersebut, dapat diatur melalui
Peraturan Pemerintah. Hal ini dinilai inkonstitusional karena bertentangan
dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan “pajak dan segala pungutan memaksa
lainnya diatur dengan Undang-undang.”
“PNPB adalah salah satu
pungutan memaksa, maka tak boleh diatur oleh PP,” Suwandi melanjutkan.
Pungutan-pungutan ini bukan
hanya mengurangi keuntungan pebisnis internet, tapi juga membuat industri
sulit berkembang dan berekspansi. Tercatat, ada 12 perusahaan penyelenggara
jasa internet yang ditutup oleh Kemenkominfo karena tidak mampu membayar BHP.
Karena itu, FPI dan APJII
berharap Kemenkominfo mempertimbangkan penundaan pungutan BHP Telekomunikasi
selama proses hukum di MK ini berlangsung.
“Kami juga meminta DPR RI
menunda pembahasan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak yang masuk dalam daftar
prolegnas 2014 selama proses hukum berlangsung,” tutur Suwandi.
Kenaikan
harga dan kesenjangan informasi
Menurut Suwandi, berbagai
pungutan pada industri internet ini akan berdampak pada kenaikan harga yang
harus ditanggung konsumen. Selain itu, hal ini akan menimbulkan kesenjangan
digital, yaitu kesenjangan terhadap akses internet antara warga yang mampu dan
kurang mampu.
“Pertumbuhan pengguna internet
Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 20% dari masyarakat Indonesia.
Artinya, 80% masyarakat Indonesia tak punya akses internet,” tegas Suwandi.
Kesenjangan digital akan mengakibatkan kesenjangan informasi,
yang berarti kesenjangan mendapat pengetahuan, kesenjangan mendapatkan
kesempatan usaha (misalnya usaha online), maupun kesenjangan untuk
menyuarakan pendapat dan masalah yang dihadapi. AA/Aquino/Far