Senin, 24 Februari 2014


Jakarta - Front Pembela Inter­net (FPI) dan Asosiasi Penyeleng­gara Jasa Internet Indonesia (APJII) mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Pe­nerimaan Negara Bukan Pajak (PN­BP) di sektor telekomunikasi.
gedung Mahkamah Konstitusi
Uji materi itu ditujukan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-un­dang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Pasal 16 dan Pa­sal 26 Undang-undang Nomor 36 ta­hun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi).
Juru bicara FPI, Suwandi Ah­mad mengatakan, dua UU ini in­kons­ti­tu­sional karena telah me­lang­gar hak berusaha dan hak men­dapatkan in­formasi. Dalam industri telekomuni­kasi ada berba­gai macam PNPB, yaitu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi, telekomunikasi, ja­sa telekomuni­ka­si, dan konten.
“Industri telekomunikasi, khu­susnya penyedia jasa internet, me­rasa terlalu terbebani oleh berba­gai biaya BHP,” kata Suwandi.
Selain itu, menurut Suwandi, ru­mu­san tarif BHP jasa telekomuni­kasi dinilai tidak fair, karena dihi­tung 1% dari pendapatan kotor (re­venue). Sedangkan pajak penda­pa­tan badan saja dihitung berda­sarkan keuntung­an (pendapatan di­kurangi pengelua­ran).
Selain itu, pendapatan-penda­pa­tan dari usaha sampingan, yang se­benarnya dari usaha non-teleko­mu­nikasi, juga dihitung sebagai re­ve­nue yang menjadi obyek BHP.
“Masalah hukumnya adalah, be­saran dan tarif BHP itu ditentu­kan sesuka-sukanya oleh peme­rin­tah, dalam hal ini Kementerian Komuni­kasi dan Informatika (Ke­men­ko­minfo),” tegas Suwandi.
FPI dan APJII menyoroti pasal 2 dan pasal 3 UU 20/1997 tentang PN­BP yang mengatakan bahwa je­nis dan tarif PNPB selain yang dise­but dalam UU tersebut, dapat diatur me­lalui Peraturan Pemerin­tah. Hal ini dinilai inkonstitusional karena ber­tentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan “pa­jak dan segala pungutan me­mak­sa lainnya diatur dengan Un­dang-undang.”
“PNPB adalah salah satu pung­u­tan memaksa, maka tak boleh di­atur oleh PP,” Suwandi melanjut­kan.
Pungutan-pungutan ini bukan ha­nya mengurangi keuntungan pe­bisnis internet, tapi juga membuat industri sulit berkembang dan be­r­ekspansi. Tercatat, ada 12 perusa­haan penyelenggara jasa internet yang ditutup oleh Kemenkominfo karena tidak mampu membayar BHP.
Karena itu, FPI dan APJII berha­rap Kemenkominfo mempertim­bang­kan penundaan pungutan BHP Telekomunikasi selama pro­ses hukum di MK ini berlangsung.
“Kami juga meminta DPR RI me­nunda pembahasan RUU Pene­rimaan Negara Bukan Pajak yang masuk dalam daftar prolegnas 2014 se­lama proses hukum berlang­sung,” tutur Suwandi.

Kenaikan harga dan kesenjang­an informasi
Menurut Suwandi, berbagai pu­ngutan pada industri internet ini akan berdampak pada kenaikan har­ga yang harus ditanggung kon­sumen. Selain itu, hal ini akan me­nim­bulkan kesenjangan digital, yaitu kesenja­ngan terhadap akses internet antara warga yang mampu dan kurang mampu.
“Pertumbuhan pengguna inter­net Indonesia saat ini baru menca­pai sekitar 20% dari masyarakat Indonesia. Artinya, 80% masyara­kat Indonesia tak punya akses inter­net,” tegas Suwandi.
Kesenjangan digital akan me­ng­akibatkan kesenjangan infor­ma­si, yang berarti kesenjangan men­da­pat pengetahuan, kesenjangan menda­patkan kesempatan usaha (misal­nya usaha online), maupun ke­senjangan untuk menyuarakan pendapat dan masalah yang diha­dapi. AA/Aquino/Far

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

10 NOVEMBER

10 NOVEMBER

SELAMAT

SELAMAT

PELANTIKAN KAPOLRI

PELANTIKAN KAPOLRI

IDUL FITRI

IDUL FITRI

125 Px

280 Px

280 Px

120 Px

Pages

280 Px

Diberdayakan oleh Blogger.

940 Px

Social Icons

Followers

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget