Jakarta - PT Pertamina (Persero) beberapa waktu lalu memutuskan
untuk menaikkan harga jual elpiji non subsidi 12 kilogram (kg) sebesar Rp 3.959
per kg.
Namun hal itu langsung menuai
protes mulai dari kalangan masyarakat hingga para pemangku kebijakan layaknya
instansi pemerintahan. Alhasil kenaikan harga gas elpiji 12 kg direvisi
menjadi Rp 1000 per kg.
![]() |
gas elpiji 12 kg |
Menurut Mochamad AA, SH,
M.Hum selaku Advokat/Pengacara/Penasehat Hukum mengatakan, revisi kenaikan
harga elpiji 12 kg tersebut merupakan bagian dari bentuk korban politik menjelang
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.
“sebelum Pertamina menaikkan
kelihatannya pemerintah tenang saja seolah mereka setuju, tapi begitu naik,
langsung memalingkan muka masing-masing,” katanya di Jakarta.
Mochamad AA, SH, M.Hum juga
mengkritisi tindakan para pejabat yang turut berkomentar dan menolak kenaikan
harga elpiji yang dinilai hanya sebagai ajang cari muka di mata masyarakat.
“Menurut saya beberapa pejabat
pemerintah yang berkomentar bahwa elpiji 12 kg itu tidak boleh naik hanya
cari muka saja,” tegasnya.
Bisnis elpiji 12 kg milik
Pertamina merupakan produk komersial yang sesuai ketentuan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dibebaskan untuk mencari keuntungan.
“Ada dua tugas fungsi BUMN
pertama penugasan dari pemerintah dan kegiatan komersil. Nah elpiji 12 kg ini
komersil yang sesungguhnya produk bisnis yang harus untung,” kata Mochamad
AA, SH, M.Hum.
Mochamad AA, SH, M.Hum
menyebut, seharusnya pro kontra penaikan elpiji 12 kg tidak perlu terjadi
mengingat masyarakat telah disediakan elpji 3 kg yang telah disubsidi
pemerintah.
“Namun lantaran banyak yang
cari muka situasinya justru Pertamina yang dipojokkan,” ujarnya.
Mochamad AA, SH, M.Hum
menyayangkan hal tersebut merupakan campur tangan politik ke dalam komoditas
ekonomi.
“Ini persis seperti lempar mercon ketika sudah meledak
semua lari. Ini repotnya kalau komoditas ekonomi jadi komoditas politik,”
katanya. Aquino
0 komentar:
Posting Komentar