Selasa, 11 Maret 2014



Perjalanan karier jenderal kelahiran Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957 itu melejit sejak menjabat Kasdam Jaya (2008). Bahkan pada tahun 2010, dia mengalami tiga kali rotasi jabatan dan kenaikan pangkat mulai dari Pangdiv 1/Kostrad (Juni-Juli 2010), menjadi Pangdam XII/Tanjungpura (Juli-Oktober 2010) dan Pangdam III/Siliwangi (Oktober 2010-Agustus 2011). Lalu Agustus 2011 menjabat Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional sebelum menjabat Wakasad (Februari 2013) hingga dipercaya sebagai Kepala Staf TNI AD (KSAD) 22 Mei 2013.


Panglima RI Jenderal Moeldoko
Jakarta - Semula, sam­pai dia menjabat Wakil Gu­bernur Lemhannas, tidak ba­nyak orang yang mempredik­si Moeldoko akan menjadi peng­ganti Laksamana TNI Panglima TNI (2010-2013) Agus Suhartono sebagai Panglima TNI. Bahkan ketika Moel­doko dilantik jadi Waka­sad pun masih hampir tidak ada yang memprediksi dia akan menjadi Panglima TNI. Banyak orang justru mengira ipar Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014) Presiden SBY, Jenderal TNI Kepala Staf TNI-AD Pramono Edhie Wibowo (Kepala Staf TNI AD) lah akan menjadi Pang­lima TNI. Dan Moeldoko hanya akan jadi Kasad.
Tapi, ternyata, tak sampai dua bulan berikutnya, Moel­doko naik pangkat menjadi Letnan Jenderal dengan jaba­tan Wakil Gubernur Lemhan­nas. Kemudian menjadi Wa­ka­sad (Februari 2013) dan naik lagi jadi Kasad pada 22 Mei 2013 dengan pangkat bin­tang empat (Jenderal). Lalu, hanya tiga bulan berikutnya se­telah menjabat Kasad, Pre­siden Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014) Susilo Bambang Yudhoyono menetapkannya sebagai ca­lon tunggal Panglima TNI.

Visi Dan Misinya
Jenderal Moeldoko meng­a­ta­kan saat ini ada bahaya-bahaya baru yang membaha­yakan tidak hanya keamanan nasional, tetapi juga keama­nan internasional. Oleh karena itu, ia bertekad merevitalisasi ketahanan TNI untuk mene­kan pergerakan aksi teroris­me.
Moeldoko menegaskan, TNI harus siap sedia setiap saat. Bukan hanya untuk meng­hadapi perang simetrik, tetapi juga perang asimetrik yang tak beraturan. Hal itu se­suai dengan visi dan misi TNI sebagai komponen utama per­tahanan negara yang tang­guh. Untuk itu, Moeldoko me­ma­parkan gagasan strategis yang akan digulirkannya bila di­­percaya memimpin TNI yaitu inovasi, profesionalisme, dan keutuhan NKRI. Pernya­ta­an ini, disambut tepuk tang­an.
Dia juga memberi perhati­an pada peningkatan disiplin dan kesejahteraan prajurit, pe­negakan hukum dan HAM, serta penyelesaian perangkat lunak TNI. Dia juga memapar­kan data mengenai kecilnya rasio personel TNI dihadapkan dengan pelaksanaan area tugas. Rasio TNI hanya 1:5,7­9 kilometer persegi, sedang­kan Malaysia 1:4,12 kilometer, Thailand 1:2,71 kilometer persegi, dan Singapura 1:0,01 kilometer persegi. Sementara itu, rasio prajurit TNI dalam men­jaga keselamatan jiwa ada­lah 1:722 orang, Malaysia 1:310 orang, Thailand 1:342 orang, dan Singapura 1:91 orang. Maka untuk mengem­bang­kan rasio tersebut, dia me­maparkan pentingnya me­ningkatkan SDM dan alutsis­ta.

Menjanjikan Inovasi Internal Di Tubuh TNI
Moeldoko menjanjikan ino­vasi internal di tubuh TNI. Me­nurutnya, dengan kekuatan personel dan rasio pengguna­annya, perlu komitmen tinggi untuk meningkatkan profesio­na­­lisme dan kesejahteraan prajurit TNI. Profesional kare­na terlatih dan terdidik, serta sejahtera sebagai prajurit TNI dalam melaksanakan tugas.
Dia menjelaskan sebagai prajurit militer, kesejahteraan dapat diartikan bahwa prajurit dilengkapi dengan alutsista yang andal dan ergonomis, dan prajurit TNI juga dijamin hak-haknya untuk hidup layak dengan status sebagai prajurit TNI.
Moeldoko memaparkan ga­gasan inovasi teknologi dan manajemen terpadu dengan pemilihan alutsista yang me­miliki teknologi serta ergo­no­mis. Dia bilang, melengkapi prajurit dengan perlengkapan berteknologi canggih mungkin terlihat mahal dalam jangka pen­dek, tetapi efisien dalam jangka panjang.
“Pemilihan alutsista deng­an teknologi tinggi, dapat me­ng­urangi jumlah personel se­ca­ra signifikan atau setidak­nya bisa bertahan pada zero growth,” jelasnya.
Dia pun akan mengurangi risiko ketergantungan pada alutsis­ta dari luar negeri. Hal ini akan dila­kukannya untuk menciptakan ke­man­dirian pada jangka meneng­ah dan jangka panjang sekaligus men­cegah penyadapan oleh pihak la­wan yang dapat berimplikasi pada jatuhnya korban prajurit TNI yang lebih banyak.
Jenderal Moeldoko tampaknya benar-benar ingin mengubah wajah TNI agar lebih ramah dan disukai masyarakat.
“Saya akan menempatkan TNI sebagai perawan yang cantik, me­narik, semua orang ingin memiliki, bisa diterima siapa pun. Saya ingin menjadikan tentara yang memiliki segalanya sehingga semua orang ingin memiliki,” kata Moeldoko
Jenderal TNI Moeldoko merupa­kan perwira penerima Bintang Adi­ma­kayasa sebagai lulusan terbaik Akabri tahun 1981. Lahir di Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957. 
Perjalanan karier Jenderal Moel­doko diawali di Yonif Linud 700 Kodam VII/Wirabuana pada tahun 1981 sebagai Komandan Peleton. 
Pengalaman tugas operasi yaitu operasi seroja Tim-tim 1984 dan Konga garuda XI-A tahun 1995. Penugasan luar negeri ke Singa­pura, Jepang, Irak-Kuwait, Amerika Serikat, dan Kanada. 
Tugas belajar ke Selandia Baru Tahun 1983 dan 1987 Tanda kehor­matan negara yang diraih berupa Satya Lencana Kesetiaan VII, XVI dan XXVI tahun, Satya Lencana Seroja, Tanda Jasa dari PBB, Satya Lencana Santi Dharma, Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, Bin­tang Yudha Dharma Nararya, dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama. 

Semasa Kecil
Moeldoko, semasa kecil me­nge­nal tirakat. Ia selalu berpuasa setiap Senin dan Kamis, dan taat un­tuk tidak menyentuh makanan dan minuman hingga matahari ter­benam di ufuk barat.
Selain itu, Moeldoko seorang pe­kerja keras. Selalu berkeringat, ce­katan dan nyaris tak pernah me­li­pat jemari tangan. Semua di­ker­jakannya. Apa yang bisa me­nopang kebutuhan keluarga dilakukanya. Maklumlah, kedua orangtuanya bu­kan berasal dari golongan ekonomi mapan.
“Saat Moeldoko masih dalam kan­dungan, bapak dan ibunya ber­puasa hingga 40 hari. Orang tua­nya  berharap kelak anaknya bi­sa menjadi orang besar,” tutur Haji Mu­hammad Sujak (76), kakak kan­dung Jendral Moedoko kala di ru­mahnya di Desa Pesing.
Doa kedua orang tua Moeldoko dikabulkan oleh Allah Swt, kini to­koh militer asal Desa Pesing, Ke­ca­matan Purwoasri, Kabupaten Ke­diri tersebut menjadi  Panglima TNI Republik Indonesia, menggan­tikan Laksamana Agus Suhartono yang pensiun akhir Agustus 2013.
Rumah yang ditempati Sujak ini  adalah tempat tinggal mendiang pasangan suami istri Moestaman dan  Hj Masfuah, yang juga orang tua Jendral Moeldoko.
Bangunannya tidak banyak be­rubah. Tidak ada renovasi. Ukuran­nya tetap kecil, memanjang ke be­la­kang, sedikit menjorok ke dalam, dan sederhana. Temboknya terlihat tua, rapuh dan kurang terpelihara. Di depan teras, terhampar pelata­ran semen yang berfungsi  untuk menjemur pakaian dan menge­ring­kan bulir padi panenan.
“Di sinilah Moeldoko (Jendral Moeldoko) lahir dan dibesarkan,“ terang Sujak di dampingi kepona­kan­nya.
Sebuah foto Jendral Moeldoko berbingkai murah tampak  meng­hias dinding ruang tamu. Foto itu baru dipasang bersamaan digelar­nya acara tasyakuran jabatan Pang­lima TNI belum lama ini.
Dibalik tembok dinding  adalah kamar Moeldoko. Di ruangan  beru­ku­ran sekitar 3x5 meter itulah Moel­doko biasa melepas penat se­te­lah seharian sekolah dan beker­ja. Di kamar yang tidak banyak be­rubah itu mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu  biasa meng­habiskan waktu bermanja-manja dengan ibundanya.
“Dia itu (Moeldoko) ketika kecil sam­pai besar (SMA), setiap tidur  se­lalu bersama ibu. Kamar itu dulu sebagian dindingnya anyaman bam­bu (gedek),“ jelasnya menge­nang.
Di keluarga,  Moeldoko adalah bungsu dari 12 bersaudara. Sujak adalah putra pertama dengan tiga orang adik yang  meninggal dunia ketika Moeldoko masih kecil.
Selain Moeldoko, Sujak juga me­miliki adik bernama Sugeng Ha­ri­yono yang pernah menjadi Danra­mil Purwoasri. Kemudian Siti Raha­yu, Supiyani yang bersuamikan ten­tara bernama Sabar berpangkat ma­yor, dan Suyono yang me­mang­ku kepercayaan kaur Desa Pesing.
Menurut Sujak, almarhum ayah­­nya (Moestaman) hanyalah se­orang pedagang palawija ala ka­darnya. Sementara Mustamah, men­diang ibunya, seorang  istri dan ibu rumah tangga biasa. Anak yang relatif banyak, dan penghasi­lan yang tidak menentu, membuat hi­dup keluarga ini serba kekurang­an.
Kendati demikian Moestaman dipercaya memangku jabatan se­bagai perangkat keamanan (jaga­baya) di desa.
“Karena keterbatasan itu, ke­luarga kami, termasuk Moeldoko ter­biasa menjadikan jagung dan singkong sebagai makanan pokok se­hari-hari,“ terang Sujak menging­at.
Meskipun miskin, Moestaman te­tap menekankan prinsip hidup bahwa anaknya harus mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Moel­doko mengenal pendidikan perta­ma di Sekolah Dasar Negeri Juntok 1. Kemudian setelah itu melanjut­kan ke SMP Negeri Papar, Kabu­pa­ten Kediri.
“Dari Papar, Moeldoko kemu­dian ikut saya di Jombang, sekolah di Sekolah Menengah Pertama Perta­nian (SMPP),” kenang Sujak.
Saat itu Sujak bekerja sebagai pem­borong proyek pembangunan plengsengan. Program brantas te­ngah yang memanjang dari wilayah Braan hingga Ploso dengan  me­ngambil batu dari Grebek, Kabu­pa­ten Nganjuk.
“Meski tidak pernah lepas ber­puasa, setiap pulang sekolah Moel­do­ko ikut membantu bekerja. Me­ngatur truk pengangkut material hingga memecah batu,“ kenang­nya.
Lulus SMPP, Moeldoko lang­sung berlanjut  ke Akademi Militer (Akmil) Magelang mulai tahun 1977. Mantan Pangdam XII Tan­jung­pura, Pangdam III Siliwangi dan Wagub Lemhanas itu lulus Akmil tahun 1981 dan mendapat anu­gerah bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik.

Perjodohan Moeldoko Dengan Koesni Harningsih
Sebagai  saudara paling dekat, Su­jak mengaku tahu bagaimana adiknya bertemu dengan calon istri­nya berlangsung tidak sengaja. Moeldoko yang  menemani Supiya­ni (kakaknya) ke Malang, diajak mam­pir ke rumah almarhum Kasim di Pandaan. Kasim yang kelak men­jadi mertuanya adalah pemilik usa­ha PT Batu Mas. Sebuah peru­sa­­haan yang bergerak di bidang transportasi angkutan dan pembo­rong bangunan.
“Begitu pertama kali bertemu, calon mertuanya itu langsung suka dan meminta Supiyani menjodoh­kan adiknya (Moeldoko) dengan anaknya (Koesni Harning­sih),” te­rang Sujak.
Pernikahan Moeldoko dengan Koesni Harningsih dikaruniai dua buah hati, yakni Randy Bimantoro yang menjadi pengusaha di Ban­dung dan Novi yang saat ini masih menem­puh pendidikan di Inggris.
AA

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

10 NOVEMBER

10 NOVEMBER

SELAMAT

SELAMAT

PELANTIKAN KAPOLRI

PELANTIKAN KAPOLRI

IDUL FITRI

IDUL FITRI

125 Px

280 Px

280 Px

120 Px

Pages

280 Px

Diberdayakan oleh Blogger.

940 Px

Social Icons

Followers

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget