Selasa, 17 September 2013

Jakarta - Rencana Men­teri Kesehatan (Menkes) me­ra­ti­fikasi Framework Convention on Tobacco Control (FC­TC) dan akan member­la­ku­kan­nya pada 2014 nanti bakal mem­buat produk tembakau lokal tersisih. Padahal, produk tem­bakau di Indonesia memi­liki ciri khas sendiri yang tidak bisa begitu saja disamakan.
"Jika ada standarisasi, sementara perlindungan pe­me­rintah tak ada, maka pro­duk tembakau lokal makin ter­sisih," kata Ketua DPP Aso­siasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtantio Wisnu Brata.
Dijelaskannya, jika produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tem­bakau-tembakau lokal ti­dak bisa jadi bahan baku ro­kok dan produk turunan lain. 
Petani Tembakau
"Dalam FCTC akan dicip­ta­kan suatu standarisasi pro­duk tembakau dengan yang ada di luar negeri padahal tem­bakau kita berbeda. Itu kita belum bicara pengaturan ik­lan, promosi, CSR dan lain-lain," ujarnya.
Seharusnya, ketimbang pe­­merintah memaksakan ra­ti­fikasi, mestinya membuat aturan rokok yang benar-be­nar disesuaikan dengan kon­disi so­sial ekonomi dan bu­daya masyarakat. FCTC, kata Nur­tantio, bisa saja sesuai de­ngan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia.
Senada hal itu anggota Ko­misi IX DPR, Poempida Hida­yatulloh menyatakan, jika pe­merintah mengaksesi FC­TC, maka problem yang akan mun­cul adalah pengurangan pe­kerja di sektor industri dan per­tanian tembakau.
“Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besa­ran hingga pabrik gulung ti­kar,” katanya.
Padahal, tambah Poem­pida, dari sektor tenaga kerja, secara keseluruhan industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,154 juta tenaga kerja. Dari jumlah itu 93,77 per­sen diserap kegiatan usa­ha pengolahan tembakau, se­perti pabrik rokok. sedang­kan pe­nye­rapan di sektor  per­tanian, menyerap sekitar 6,23 persen.
“Lebih rincinya 1,25 juta orang telah menggantungkan hidupnya bekerja di ladang cengkeh dan tembakau, 10 ju­ta orang terlibat langsung da­lam industri rokok, dan 24,4 juta orang terlibat secara tidak langsung dalam industri ro­kok,” lanjutnya.
Poempida mengingatkan Menteri Kesehatan bahwa visi misi Presiden SBY adalah ingin menciptakan pertumbu­han ekonomi yang berkuali­tas dan inklusif. Salah satu defi­nisi dari pertumbuhan eko­nomi yang berkualitas adalah mengama­natkan ke­pa­da pe­merintah untuk mela­kukan akselerasi maupun pe­ning­katan bagaim­ana se­tiap satu persen per­tum­bu­han ekono­mi itu mampu me­nyerap tena­ga kerja seba­nyak 450 ribu orang.
“Dalam konteks rencana Menkes meratifikasi FCTC, sama halnya Menkes meng­ing­kari visi misi Presiden SBY,” tegasnya.
Lebih jauh dikatakan Poem­pida, industri nasional ber­basis rokok/tembakau itu me­nyumbangkan kontribusi per­tumbuhan ekonomi yang ber­kualitas. Oleh karena itu, diri­nya menegaskan bahwa in­dus­tri ini harus dilindungi.
“Jadi bukan semata-mata karena faktor serangan asing atau serangan dari mana, te­tapi semata-mata meng­a­man­­kan amanat visi misi Presiden,” lanjutnya.
Bahkan Amerika sendiri sampai sekarang belum me­ra­tifikasi FTCC karena me­re­ka sadar harus melindungi indus­tri rokoknya.
"Amerika Serikat sebagai pendukung utama WTO saja belum meratifikasi. Begitu pula Jerman, Swiss, karena mere­ka punya industri temba­kau," sambungnya. Mardiono

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

10 NOVEMBER

10 NOVEMBER

SELAMAT

SELAMAT

PELANTIKAN KAPOLRI

PELANTIKAN KAPOLRI

IDUL FITRI

IDUL FITRI

125 Px

280 Px

280 Px

120 Px

Pages

280 Px

Diberdayakan oleh Blogger.

940 Px

Social Icons

Followers

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget