Minggu, 23 Februari 2014



Mencuatnya kasus Anita Whardani, siswa SMAN 2 Denpasar, Bali yang mengaku disuruh pindah sekolah gara-gara niatnya mengenakan jilbab, semakin luas mengundang tangapan, termasuk dari Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim.

Jakarta - Kementerian Pendi­di­kan dan Kebudayaan (Kemdik­bud) menyesalkan pelarangan peng­gunaan jilbab di salah satu SMA Negeri di Bali. Sekolah tidak bo­leh bertindak diskriminatif ter­ha­dap siswa yang berkeinginan meng­gunakan jilbab.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan, Musliar Kasim mengatakan, seha­rus­nya hal semacam ini tidak perlu terjadi.
Menurutnya, lembaga ke­polisi­an yang awalnya tidak mem­bo­lehkan polisi wanita menggu­na­kan jilbab, kini direformasi dan mem­persilakan pemakaian penu­tup ke­pala tersebut.
Musliar Kasim
“Apalagi ini lembaga pendidi­kan,” tambahnya di Jakarta.
Musliar mengaku akan mem­beri­kan peringatan kepada sekolah yang melakukan pelarangan peng­gunaan jilbab, jika aturan tersebut tidak segera diubah. Namun, jika ti­dak juga dicabut, pihaknya akan memberikan sanksi kepada seko­lah tersebut.
“Sekolah harus membolehkan siswa menggunakan jilbab,” ujar­nya.
Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kemdikbud, Achmad Jazidie juga menyesalkan peristi­wa tersebut.
Menurutnya, sekolah perlu dite­gur, karena penggunaan jilbab me­ru­pakan bagian dari hak asasi ma­nusia.
“Saya menyesalkan kejadian ini. Apalagi kalau tidak ada pera­tu­ran di atasnya yang melarang peng­gunaan jilbab di sekolah,” je­las Jazidie.
Dirinya mempertanyakan, me­ng­apa sekolah perlu menciptakan kondisi yang menyulitkan siswa­nya untuk melaksanakan perintah agama yang diyakininya.
Drs I Ketut Sunarta MHum
“Apakah seseorang berjilbab itu menganggu kegiatan belajar me­ngajar, tidak dapat menyerap pe­lajaran? Kalau gurunya yang me­rasa terganggu, kenapa harus ter­ganggu?” tandasnya.
Jazidie menyebut, seharusnya se­­kolah menumbuhkan sikap sa­ling menghargai dan memberikan ke­sempatan seluas-luasnya kepa­da siswa dalam menjalankan hal yang diyakini dalam agamanya.
“Kita akan minta sekolah untuk mencabut peraturan yang sifatnya menyulitkan siswa,” tambah Jazi­die. 
Sementara itu, Direktur Jende­ral Pendidikan Islam, Kementerian Aga­ma, Nur Syam menuturkan, pe­la­rangan penggunaan jilbab me­rupakan hal yang aneh dan ironi ter­jadi di Indonesia.
Ia menambahkan, sejumlah ne­gara di Eropa sudah membolehkan warganya menggunakan jilbab se­bagai bagian dari identitas agama yang dipeluknya.
“Sungguh ironis jika di Indonesia yang konon disebut sebagai ne­gara yang plural dan multikultural, melakukan pelarangan terhadap sis­wa berjilbab di lembaga pendidi­kan,” jelasnya.
Dirinya sependapat dengan Kemdikbud bahwa persoalan ini ha­rus segera diselesaikan, agar tidak terjadi diskriminasi dalam pro­ses pendidikan.
Nur Syam juga meminta kepada Kemdikbud  untuk dapat memberi te­guran kepada sekolah bersang­ku­tan sehingga tidak ada lagi per­lakuan diskriminasi terhadap para siswa,” imbuhnya.

Kepsek SMAN 2 Denpasar Tidak Merasa Bersalah
Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Denpasar, Bali, I Ketut Sunarta, me­ngaku tidak merasa bersalah karena tidak mengizinkan siswinya untuk mengenakkan jilbab.
Dia beralasan pihaknya hanya me­negakkan aturan sekolah yang belum mengatur penggunaan jil­bab.
“Kenapa tiba-tiba ada pernyata­an Wamendikbud ngasih sanksi, ti­dak ada konfirmasi. Saya tidak me­rasa bersalah karena saya tidak tahu apa pelanggaran saya? Saya tidak tahu jilbab itu seperti apa hukumnya dalam Islam,” kata I Ketut di Denpasar.
Meski melarang jilbab bagi sis­winya, I Ketut tetap mengaku seba­gai pribadi toleran, sebab di SMAN 2 Denpasar Mushola juga disedia­kan bagi pelajar muslim.
“Ketika lebaran saya suka da­tang ke orang-orang Islam dan orang Islam pun datang ke rumah saya ketika nyepi,” imbuhnya.
I Ketut mengaku dirinya tidak me­rasa bersalah karena belum ada aturan tertulis untuk mengatur ten­tang jilbab.
I Ketut juga berang ketika so­rotan publik justru hanya tertuju pa­danya. Padahal, katanya, banyak sekolah lain di Bali yang jelas-jelas me­larang secara tertulis penggu­na­an jilbab.
“Kenapa hanya SMAN 2 Den­pa­sar yang disorot?” tanyanya.
Sementara itu Advokat/Penga­cara/Penasehat Hukum, Mocha­mad AA, SH, M.Hum mengatakan bahwa pernyataan I Ketut yang ti­dak tegas dan samar-samar justru membuat kebingungan di tengah-tengah publik, katanya.
Mocha­mad AA, SH, M.Hum men­jelaskan kebimbangan yang dialami Anita sebagai pelajar di SMAN 2 Denpasar. Anita meminta ketegasan dari Kepala Sekolah apa­kah boleh memakai Jilbab atau tidak. Kalau Kepala Sekolah tidak me­larang berarti ‘boleh’. Dan, kalau tidak mengizinkan berarti ‘mela­rang’.
Anita menganggap Kepala Se­kolah tidak tegas, kalau memang dilarang bilang saja dilarang, dan dia akan pindah. Kalau memang dibo­lehkan, bilang saja boleh biar Anita dan teman-temannya bisa memakai jilbab.
“Itulah yang membuat para pe­lajar muslim jadi serba salah, keti­dak­jelasan atas pernyataan Kepala Sekolah ‘tidak mengizinkan juga ti­dak melarang’,” tegas Mocha­mad AA, SH, M.Hum.
Maka ketika Anita nekad me­ma­kai jilbab, malah yang terjadi jus­tru dipanggil dan dinasehati un­tuk taat aturan sekolah dengan ti­dak mema­kai jilbab, tambah Moch­a­mad AA, SH, M.Hum. Far

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

10 NOVEMBER

10 NOVEMBER

SELAMAT

SELAMAT

PELANTIKAN KAPOLRI

PELANTIKAN KAPOLRI

IDUL FITRI

IDUL FITRI

125 Px

280 Px

280 Px

120 Px

Pages

280 Px

Diberdayakan oleh Blogger.

940 Px

Social Icons

Followers

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget